Sabtu, 24 November 2012

CENTRAL VENOUS PRESSURE


Pada zaman era globalisasi ini teknologi semakin maju terutama dibidang kesehatan. Dengan adanya kemajuan teknologi ini maka diperlukan sumber daya manusia yang bermutu. Perawat yang merupakan salah satu sumber daya manusia dibidang kesehatan dituntut untuk selalu meningkatkan pengetahuannya baik melalui pendidikan formal maupun pendidikan informal seperti mengikuti pelatihan kursus keperawatan, seminar atau yang lainnya sesuai dengan bidangnya.
Cairan merupakan bagian terbesar dalam bagian tubuh, yang salah satu perannya adalah untuk membantu metabolisme tubuh. Agar metabolism tubuh dapat berjalan baik dibutuhkan input cairan setiap hari untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang. Hilangnya cairan pada individu dapat disebabkan karena beberapa hal termasuk keadaan patologis pada individu (gagal ginjal, ARF, gagal jantung, shock,dll), perbedaan suhu yang ekstrim, serta perdarahan. Hal ini dapat menyebabkan seseorang mengalami dehidrasi.
Pengukuran keseimbangan cairan dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya pengukuran melalui vena sentral dengan menggunakan manometer. Pengukuran tekanan vena sentral (CVP) dilakukan untuk mengukur tekanan darah di vena kava. Pengukuran ini memberikan informasi tentang tiga parameter yang meliputi; volume darah, keefektifan jantung sebagai pompa, dan tonus vaskular. Adanya pengukuran ini, paramedis dapat mengetahui keseimbangan cairan pada klien yang sedang dalam keadaan patologis untuk mengantisipasi terjadinya shock hipovolemik.

CENTRAL VENOUS PRESSURE (CVP)
A.    Pengertian
·         Tekanan vena central (central venous pressure) adalah tekanan darah di vena kava. Ini memberikan informasi tentang tiga parameter volume darah, keefektifan jantung sebagai pompa, dan tonus vaskular. Tekanan vena central dibedakan dari tekanan vena perifer, yang dapat merefleksikan hanya tekanan lokal.
            Pengukuran CVP / RJP (Right Arterial Pressure) dengan menggunakan manometer
Darah dari vena sistemik masuk ke atrium kanan sehingga pengukuran tekanan pada atrium kanan dapat dilakukan. CVP ditentukan oleh fungsi dari sebelah kanan jantung dan tekanan darah vena di vena cava. Dalam situasi normal, peningkatan venous return menyebabkan peningkatan cardiac output tanpa perubahan tekanan vena. Namun bila fungsi ventrikular kanan berkurang atau pada sirkulasi pulmunol yang terobstruksi, tekanan atrium kanan akan meningkat. Kehilangan volume darah ataupun dilatasi menyeluruh juga menyebabkan berkurangnya venus return dan tekanan atrium kanan turun.
Nilai normal CVP 5 – 10 cm H2O, dan pada orang yang menggunakan ventilator naik 3 – 5 cm H2O.

B.     Tujuan
Untuk mengkaji status cairan intravaskuler pasien

C.    Indikasi
·         Pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium.
·         Pengukuran oksigenasi vena sentral.
·         Nutrisi parenteral dan pemberian cairan hipertonik atau cairan yang mengiritasi yang perlu pengenceran segera dalam sistem sirkulasi.
·         Sebagai jalan masuk vena bila semua tempat IV lainnya telah lemah.
·         Pasien dengan trauma berat disertai dengan perdarahan yang banyak yang dapat menimbulkan syok.
·         Pasien dengan tindakan pembedahan yang besar seperti open heart, trepanasi.
·         Pasien dengan kelainan ginjal (ARF, oliguria).
·         Pasien dengan gagal jantung.
·         Pasien yang diberikan tranfusi darah dalam jumlah yang besar (transfusi masif).
·         Monitor status volume cairan dan fungsi ventrikel
·         Acuan untuk pemberian cairan, diuretic dan obat – obat vasoaktif jika alat monitor invasif lain tidak ada.
·         Pemberian obat yang cenderung menyebabkan phlebitis dalam vena perifer (caustic), seperti: calcium chloride, chemotherapy ,hypertonic saline, potassium chloride, amiodarone


D.    Kapan CVP harus diukur
1.      Klien hipotensi yang tidak berespon terhadap manajemen klinis dasar
2.      Hipovolemi berkelanjutan sekunder akibat pergeseran cairan atau kehilangan cairan
3.      Pasien yang membutuhkan infus inotropik

E.     Kontraindikasi dan kewaspadaan
1.      Peningkatan CVP menunjukkan peningkatan cardiac output, infark / gagal vntrikel kanan, meningkatnya volume vaskular, perikarditis, konstriktif dan hipertensi pulmonal. Hasil pengukuran CVP, menunjukkan peningkatan false (salah) jika pada kondisi COPD, tension pneumothoraks, ventilasi tekanan positif.
2.      Dislokasi ujung kateter jalur vena cava superior mengakibatkan hasil tidak akurat.
3.      Penurunan CVP dapat terjadi akibat hipovolemia, vasodilatasi akibat obat dan syok dari berbagai penyebab.

F.     Faktorfaktor yang mempengaruhi pengukuran tekanan vena sentral :
·         Volume darah vena sentral
o   Venous return/cardiac output
o   Volume darah total
o   Tonus vaskuler regional
·         Pemenuhan kompartemen sentral
o   Tonus vaskuler
o   Pemenuhan ventrikel kanan
·         Penyakit myokard
·         Penyakit perikard
·         Tamponade
·         Penyakit katup tricuspid
o   Stenosis
o   Regurgitasi
·         Ritme jantung
o   Ritme junctional
o   Fibrilasi atrium
o   Disosiasi atrioventrikular
·         Level transducer
o   Posisi pasien
·         Tekanan intrathorakal
o   Respirasi
o   Intermittent positivepresure ventilation
o   Positive endexpiratory pressure
o   Tension pneumothorax

G.    Lokasi pemantauan
·         Vena Jugularis interna kanan atau kiri (lebih umum pada kanan)
·         Vena subklavia kanan atau kiri, tetapi duktus toraks rendah pada kanan
Vena brakialis, yang mungkin tertekuk dan berkembang menjadi phlebitis
Lumen proksimal kateter arteri pulmonalis, di atrium kanan atau tepat di atas vena kava superior
H.    Komplikasi
·         Pneumothoraks
·         Emboli udara
·         Kelebihan cairan
·         Sepsis
·         Infeksi local atau sistemik (mis. endokarditis)
·         Emboli pumuner
·         Disritmia
·          Erosi vena cava superior yang mengakibatkan hemothoraks dan tamponade jantung
·         Sumbatan pada kateter akibat stopcock yang tidak tepat menyebabkan pemberian cairan infus melambat
·         Perdarahan karena selang terlepas dari kateter vena central ----Lapor Segera


I.       Prosedur
1.      Pengkajian
Yang perlu dikaji pada pasien yang terpasang CVP adalah tanda-tanda komplikasi yang ditimbulkan oleh pemasangan alat.
·         Kaji akan kebutuhan pemasangan CVP dan pengukuran CVP
·         Keluhan nyeri, napas sesak, rasa tidak nyaman.
·         Keluhan verbal adanya kelelahan atau kelemahan.
·         Frekuensi napas, suara napas
·         Tanda – tanda  kemerahan / pus pada lokasi pemasangan.
·         Adanya gumpalan darah / gelembung udara pada cateter.
·         Kesesuaian posisi jalur infus set.
·         Tanda-tanda vital
2.      Perencanaan
a)      Persiapan alat
·         Sarung tangan disposable
·         Piala ginjal
·         Perlak atau alas
·         CVP manometer air
·         Cairan dan selang IV
·         Alat tulis
b)      Persiapan pasien
o   Menjaga privacy klien
o   Jelaskan dan informasikan prosedur yang akan dilakukan
c)      Pelaksanaan
o   Perawat mencuci tangan
o   Memakai sarung tangan disposable
o   Dekatkan alat yang digunakan
o   Posisi pasien supine (telentang) dengan kepala tempat tidur rata / ditinggikan 30˚
o   Tandai lokasi sudut phlebostatic (axis mid – axillaris dengan ICS 4 ------ titik 0) untuk membaca hasil pengukuran. Lokasi ini sejajar dengan atrium kanan. Pengukuran harus dilakukan pada posisi yang sama, kalau perlu tandai permukaan kulit
o   Stopcock OFF ke manometer. Isi selang dengan cairan infus
o   Sambungkan selang manometer ke jalur vena sentral lalu dialirkan untuk cek kepatenan
o   Letakkan manometer air sejajar titik 0, yaitu ICS 4 linea midaxilaris
o   Stopcock OFF ke arah pasien. Isi manometer dengan cairan infus sampai dengan 25 cm. Hati – hati jangan sampai berlebihan karena akan mengkontaminasi manometer.
o   Stopcock OFF ke infus sehingga cairan akan turun fluktuasi sesuai dengan  pernapasan
o   Ukur CVP saat cairan berhenti (stabil). Perhatikan cara melihat ukuran sejajar mata saat akhir ekspirasi.
o   Stopcock OFF ke manometer untuk mencegah aliran cairan manometer ke pasien. Alirkan infus kembali ke jalur vena sentral
o   Catat hasil dan posisi pasien
d)     Evaluasi
o   Lihat kembali posisi vena central, sumbatan ataupun perdarahan
o   Laporkan adanya hasil ukuran CVP yang tidak normal
e)      Dokumentasi
o   Catat waktu dilakukan pengukuran CVP
o   Catat hasil pengukuran CVP

J.      Peranan Perawat
1.      Sebelum Pemasangan
·         Mempersiapkan alat untuk penusukan dan alat-alat untuk pemantauan
·         Mempersiapkan pasien; memberikan penjelasan, tujuan pemantauan, dan mengatur posisi sesuai dengan daerah pemasangan
2.      Saat Pemasangan
·         Memelihara alat-alat selalu steril
·         Memantau tanda dan gejala komplikasi yang dapat terjadi pada saat pemasangan seperti gangguan irama jantung, perdarahan
·         Membuat klien merasa nyaman dan aman selama prosedur dilakukan
3.      Setelah Pemasangan
·         Mendapatkan nilai yang akurat dengan cara:
1)      melakukan Zero Balance: menentukan titik nol/letak atrium, yaitu pertemuan antara garis ICS IV dengan midaksila,
2)      Zero balance: dilakukan pd setiap pergantian dinas , atau gelombang tidak sesuai dg kondisi klien
3)      melakukan kalibrasi untuk mengetahui fungsi monitor/transduser, setiap shift.
·         Mengkorelasikan nilai yg terlihat pada monitor dengan keadaan klinis klien.
·         Mencatat nilai tekanan dan kecenderungan perubahan hemodinamik.
·         Memantau perubahan hemodinamik setelah pemberian obat-obatan.
·         Mencegah terjadi komplikasi & mengetahui gejala & tanda komplikasi (spt. Emboli udara, balon pecah, aritmia, kelebihan cairan,hematom, infeksi,penumotorak, rupture arteri pulmonalis, & infark pulmonal).
·         Memberikan rasa nyaman dan aman pada klien.
·         Memastikan letak alat2 yang terpasang pada posisi yang tepat dan cara memantau gelombang tekanan pada monitor dan melakukan pemeriksaan foto toraks (CVP, Swan gans).


Dafpus : Mancini E. Mary. 2002.  Prosedur Keperawatan Darurat. Jakarta : EGC

KATETER DOUBLE LUMEN



A.    Definisi
Kateter double lumen adalah sebuah alat yang terbuat dari bahan plastic PVC mempunyai 2 cabang, selang merah (arteri) untuk keluarnya darah dari tubuh ke mesin dan selang biru (vena) untuk masuknya darah dari mesin ke tubuh (Allen R. Nissenson,dkk, 2004)
B.     Anatomi Fisiologi

Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen, terutama di daerah lumbal di sebelah kanan dan kiri tulang belakang. Ginjal di bungkus oleh lapisan lemak yang tebal di belakang peritoneum dan di luar rongga peritoneum. Ginjal mempunyai panjang 6 sampai 7½ cm dan tebal 1½ sampai 2½ cm. Pada orang dewasa berat ginjal ± 140 gram. Bentuk ginjal seperti biji kacang dan sisi dalamnya atau hilum menghadap ke tulang punggung.
Fungsi ginjal adalah :
a.       Ultra Filtrasi
Yaitu membuang volume cairan dari darah sirkulasi bahan-bahan yang terlarut dalam cairan juga turut terbuang. Ultrafiltrasi berasal dari kapiler-kapiler glomerulus kira-kira 180 L/hari. Jumlah filtrasi dalam satuan waktu yang ditentukan disebut angka kecepatan fungsi glomerular (GFR : glomerular filtration rate). Ginjal mendapat 25% dari output kardiak dan arus darah. Dalam ginjal rata-rata 600 ml/unit. Bila darah memasuki kapiler-kapiler glomerulus dengan tekanan yang kurang dari 60-70 mmHg, akan membentuk plasma yang tidak tersaring.
b.      Pengendalian cairan
Yaitu mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit-elektrolit yang tepat dalam batas ekskresi yang normal dalam sekresi dan reabsorbsi. Jika bukan karena adanya sistem konservasi dari ginjal, orang akan kehabisan cairan dan garam dalam waktu 3 sampai 4 menit. Tubulus yang berbelok-belok proximal mereabsorbsi 85% sampai 90% air pada ultra filter, 80% dari sodium yang telah difilter, dan terbanyak potasium yang telah difilter, bikarbonas klorida, fosfat, glukosa dan protein.
c.       Keseimbangan asam
Yaitu mempertahankan pH pada derajat yang normal dengan ekskresi ion H dan pembentukan bikarbonas untuk buffer/penyangga.
d.      Ekskresi produk sisa
Yaitu pembuangan langsung produk metabolisme yang terdapat pada filtrat glomerular. Sisa-sisa metabolik diekskresi pada filtrasi glomerulus. Kreatinin sedikit mengalami modifikasi yang lewat melalui nefron, kreatinin yang terkandung pada filtrasi glomerulus yang diekskresikan tanpa perubahan dalam urin.
e.       Mengatur tekanan
Yaitu mengatur tekanan darah dengan mengendalikan volume sirkulasi dan sekresi urin.
Cairan dan elektrolit yang dikendalikan oleh ginjal adalah :
·         Glomerulus : filtrasi air dan elektrolit.
·         Tubulus proximal : reabsorbsi jumlah besar air sodium, potasium, bikarbonat, klorida, fosfat.
·         Tubulus henle : difusi sodium, ke dalam tubulus.
f.       Memproduksi eritrosit
Yaitu erythropoetin yang disekresi oleh ginjal merangsang sumsum tulang agar membuat eritrosit. Erythropoetin adalah hormon yang dikeluarkan ginjal, erythropoetin adalah hormon yang dikeluarkan ginjal, erythropoetin merangsang sumsum tulang untuk menghasilkan sel darah merah (RBCs : Red Blood Cells).
Mengatur metabolisme
g.      Adalah mengaktifkan vitamin D yang diatur oleh kalsium fosfat ginjal. Metabolisme kalsium fosfat juga dikendalikan oleh ginjal, vitamin D prohormon diubah menjadi bentuk aktif oleh ginjal. Vitamin D aktif bukan hanya mengatur absorbsi kalsium oleh alat pencernaan tapi juga penyimpanan pada matriks tulang. Demikian juga metabolisme kalsium dan phosphorus.
h.      Reabsorbsi air
·         Badan asenden : reabsorbsi sodium.
·         Distal dari tubulus yang berbelok-belok :
-          Reabsorbsi air
-          Sekresi potasium, hidrogen dan ion amonia menurut kebutuhan reabsorbsi sodium.
C.    Akses vaskular untuk Hemodialisis
Hemodialisis adalah suatu upaya untuk membersihkan sisa-sisa metabolisme tubuh dan kelebihan cairan dari darah yang menggunakan mesin berfiltrasi (Morton, Fontaine, Hudak dan Gallo, 2005). HD bekerja dengan menggunakan prinsip osmosis dan filtrasi. Untuk pelaksanaan HD diperlukan suatu akses jangka panjang yang adekuat.
1.      Akses Vaskular Akut, dibagi menjadi :
a.      Fistula Eksternal Arteriovenousus
Fistula eksternal arteriovenousus diperkenalkan oleh Scribner dan Quinton pada tahun 1960, nama lainnya adala shunt Scribner. Shunt Scribner dibuat dengan memasang selang Silastic dengan ujung Teflon yang sesuai ke dalam arteri radialis dan vena cephalika pada pergelangan tangan atau ke dalam arteri tibialis posterior dan vena saphenousus pada pergelangan kaki. Bila shunt ingin digunakan, maka selang Silastic dihubungkan secara langsung dengan selang darah dan mesin dialisa, jika tidak digunakan maka selang dihubungkan dengan konektor Teflon. Ada kerugian karena pemakaian shunt Scribner adalah thrombosis, mudah tercabut dan perdarahan. Karena banyaknya kekurangan shunt Scribner tersebut, maka shunt ini sekarang sudah jarang dipakai untuk hemodialisis
b.      Kateter Double-Lumen Hemodialisis
Kateter double-lumen hemodialisis merupakan alat akses vaskular hemodialisis akut. Kateternya terbuat dari polyurethane, polyethylene atau polytetrafluoethylene.
Gambar 2.
c.       Tunneled Cuffed Catheter
Tunneled cuffed catheter adalah kateter double lumen silastic atau silicon dengan cuff dapat digunakan sebagai akses temporary pada hemodialisis dimana fistulanya belum siap digunakan. Keuntungannya kateter ini dapat segera digunakan, tidak ada resiko menembus arteri dan tidak diperlukan jarum bila memerlukan hemodialisis. Kerugiannya adalah resiko bakteremia dan infeksi yang menjalar karena pemakaian kateter dan kecepatan aliran darah yang rendah secara persisten yang menyebabkan hemodialisis tidak adekuat.


Gambar 3.

2.      Akses Vaskular Permanen
a.       Fistula Arteriovenousus Primer
AV fistula primer pertama-tama diperkenalkan oleh Cimino dan Brescia pada tahun 1961. Fistula ini dibuat dengan membuat anastomosis end to side vena ke arteri pada vena cephalika dan arteri radialis dan memerlukan waktu 2-6 bulan untuk matur sehingga dapat digunakan. Jenis fistula primer lainnya adalah fistula brachiocephalica pada siku dan diubah menjadi fistula brachiobasilica. Perubahan fistula brachiobasilica dibuat dengan membuat insisi dari lengan bawah ke axial sepanjang rute vena basilica dan dibuat anastomosis dengan arteri brachialis. Keuntungannya adalah pemakaian AV fistula dapat digunakan untuk waktu beberapa tahun, sedikit terjadi infeksi, aliran darahnya tinggi dan memiliki sedikit komplikasi seperti thrombosis. Sedangkan kerugiannya adalah memerlukan waktu cukup lama sekitar 6 bulan atau lebih sampai fistula siap dipakai dan dapat gagal karena fistula tidak matur atau karena gangguan masalah kesehatan lainnya.
Gambar 4.
b.      Graft Arteriovenousus Sintetis
AV graft sintetis adalah suatu tindakan pembedahan dengan menempatkan graft polytetrafluoroethylene (PTFE) pada lengan bawah atau lengan atas (arteri brachialis ke vena basilica proksimal). Keuntungannya graft ini dapat dipakai dalam waktu lebih kurang 3 minggu untuk bias dipakai. Kerugiannya dapat terjadi thrombosis dan infeksi lebih tinggi daripada pemakaian AV fistula primer. Akhir-akhir ini di temukan bahwa graft PTFE dilakukan pada dinding dada (arteri aksilaris ke vena aksilaris atau arteri aksilaris ke vena jugularis) atau pada paha (arteri femoralis ke vena femoralis).
Gambar 5.
D.    Lokasi penusukan kateter hemodialisis dapat dilakukan di beberapa tempat,yaitu :
1.      Vena femoralis
Pengertian kateter femoralis menurut Hartigan (dalam Lancester, 1992) adalah pemasangan kanul kateter secara perkutaneous pada vena femoralis. Kateter dimasukkan ke dalam vena femoralis yang terletak di bawah ligamen inguinalis. Pemasangan kateter femoral lebih mudah daripada pemasangan pada kateter subclavian atau jugularis internal dan umumnya memberikan akses lebih cepat pada sirkulasi. Panjang kateter femoral sedikitnya 19 cm sehingga ujung kateter terletak di vena cava inferior.
Gutch, Stoner dan Corea (1999) mengatakan bahwa indikasi pemasangan kateter femoral adalah pada pasien dengan PGTA dimana akses vaskular lainnya mengalami sumbatan karena bekuan darah tetapi memerlukan HD segera atau pada pasien yang mengalami stenosis pada vena subclavian. Sedangkan kontraindikasi pemasangan keteter femoral adalah pada pasien yang mengalami thrombosis ileofemoral yang dapat menimbulkan resiko emboli (Lancester, 1992).
Komplikasi yang umumnya terjadi adalah hematoma, emboli, thrombosis vena ileofemoralis, fistula arteriovenousus, perdarahan peritoneal akibat perforasi vena atau tusukan yang menembus arteri femoralis serta infeksi (Gutch, Stoner & Corea, 1999). Tingginya angka kejadian infeksi tersebut, maka pemakaian kateter femoral tidak lebih dari tujuh hari.
Gambar 6.
2.      Vena subclavicula
Kateter double lumen dimasukkan melalui midclavicula dengan tujuan kateter tersebut dapat sampai ke suprastrernal. Kateter vena subclavikula lebih aman dan nyaman digunakan untuk akses vascular sementara dibandingkan kateter vena femoral, dan tidak mengharuskan pasien dirawat di rumah sakit. Hal ini disebabkan keran rendahnya resiko terjadi infeksi dan dapat dipakai sampai lebih dari 1 minggu. Kateter vena subklavikula ini dapat menyebabkan komplikasi seperti pneumotoraks, stenosis vena subklavikula, dan menghalangi akses pembuluh darah di lengan ipsilateral oleh karena itu pemasangannya memerlukan operator yang terlatih daripada pemasangan pada kateter femoral. Dengan adanya komplikasi ini maka kateter vena subklavikula ini sebaiknya dihindari dari pasien yang mengalami fistula akibat hemodialisa. 
Gambar 7.
3.      Vena jugularis internal
Kateter dimasukkan  pada kulit dengan sudut 200 dari sagital, dua jari di bawah clavicula, antara sternum dan kepala clavicula dari otot sternocleidomastoideus. Pemakaian kateter jugularis internal lebih aman dan nyaman. Dapat digunakan beberapa minggu dan pasien tidak perlu di rawat di rumah sakit. Kateter jugularis internal memiliki resiko lebih kecil terjadi pneumothoraks daripada subclavian dan lebih kecil terjadi thrombosis. Oliver, Callery, Thorpe, Schwab & Churchill (2000, Risk of Bacteremia from temporary hemodialysis catheter by site of insertion and duration of use : a prospective study, http://www.nature.com, diperoleh tanggal 25 Januari 2007) mengatakan bahwa dari 318 pemakaian kateter pada lokasi tusukan yang baru, terjadi bakteremia 5,4% setelah pemakaian lebih dari 3 minggu pada kateter jugularis interna.
Gambar 8.
E.     Faktor-faktor Pertimbangan Pembuatan Akses Vaskular
Banyak faktor pertimbangan dalam membuat akses vascular pada pasien HD, tergantung pada klinis dan apakah GGA atau GGK.
Faktor - faktor pertimbangan pembuatan akses vaskular antara lain :
·      Usia
·      Derajat gangguan dan kemungkinan pulih tidaknya fungsi ginjal
·      Tekanan darah dan status hidrasi
·      Adanya komplikasi
·      Keadaan pembuluh lengan
·      Derajat kedaruratan untuk memulai dialysis
F.     Prinsip Hemodialisis
Perpindahan zat melalui membran dialisis di tentukan oleh 2 faktor utama,yaitu :
1.      Difusi
Difusi berarti perpindahan zat terlarut /salut oleh tenaga yang di tentukan oleh perbedaan konsentrasi zat terlarut di kedua sisi membran dialysis. Kecepatan dan arah perpindahan ini di tentukan oleh:
·         luas permukaan membran
·         kecepatan aliran darah dan cairan dialisat
·         perbedaan konsentrasi
·         koofisien difusi membran (permeabilitas)
2.      Konveksi
Konveksi  adalah  perpindahan  zat  terlarut  dan  pelarut  melalui membran akibat tenaga hidrostatik yang bekerja pada membran.
Perpindahan ini di tentukan oleh:
·         Tekanan transmembran
·         Luas permukaan membran
·         Koefisien difusi membran (permeabilitas hidraulik membran).
·         Perbedaan tekanan osmotik.
·         Pengeluaran cairan secara ultrafiltrasi tergantung terutama pada tekanan hidrostatik (tekanan positive kompartemen darah di tambah tekanan yang negatif karna dialisat) yang mendorong air melalui membran.
·          
G.    Komplikasi yang dapat timbul akibat pemakaian kateter vena sentral
Komplikasinya antara lain :
1.      Komplikasi karena penusukkan
Komplikasi karena penusukkan yang terjadi seperti disritmia atrium dan disritmia ventrikel. Disritmia atrium dapat terjadi 40% pada pemakaian kateter subclavian dan terjadi 20% disritmia ventrikel. Terjadi komplikasi pneumothoraks 1-5% pada kateter subclavian tetapi kurang dari 0,1% pada kateter jugularis internal. Selain itu, terjadi pula komplikasi akibat penusukkan adalah emboli udara, perforasi pada dinding jantung atau vena sentral, tamponade pericardium dan tertembusnya arteri.
2.      Infeksi
Infeksi karena penggunaan kateter merupakan masalah utama. Infeksi terjadi akibat migrasi mikroorganisme dari kulit pasien melalui lokasi tusukan kateter dan turun ke permukaan luar kateter atau dari kateter yang terkontaminasi selama prosedur hemodialisis. Menurut Nissenson (2005) pemakaian femoral kateter beresiko terjadi bakteremia 3,1% selama satu minggu kateterisasi dan meningkat menjadi 10,7% setelah 2 minggu kateterisasi. Oleh karena itu, pemakaian kateter femoral harus dilepaskan setelah pemakaian satu minggu. Infeksi terjadi pula pada pemakaian kateter jugularis internal sebesar 5,4% pada 3 minggu dan meningkat menjadi 10,3% setelah pemakaiam 4 minggu.
3.      Thrombosis dan emboli udara
Thrombosis dapat terjadi setelah pemasangan kateter karena kesalahan teknik. Thrombosis dapat menyebabkan hilangnya akses vascular untuk HD.
4.      Stenosis vena sentral
Stenosis lebih sering terjadi pada pemakaian kateter subclavian.
H.    Cara / tehnik perawatan kateter double lumen
1.      Tujuan Perawatan Kateter Double Lumen
Adalah mencegah terjadinya infeksi, mencegah adanya bekuan darah di selang kateter double lumen, kateter dapat digunakan dalam waktu tertentu dan aliran darah menjadi lancar.
2.      Hal yang perlu diperhatikan dalam perawatan kateter double lumen
Adalah kebersihan kateter, kondisi kateter yang tidak tertekuk, rembesan darah dari sambungan tutup kateter, kateter lepas atau berubah posisi, tanda – tanda peradangan dan keluhan pasien.
3.      Prosedur perawatan kateter double lumen
a.      Pengkajian
·         Kaji program medik
·         Kaji warna kulit disekitar lokasi pemasangan chateter double lumen, apakah ada kemerahan.
·         Kaji daerah lokasi penusukan, apakah ada tanda-tanda phlebitis seperti kemerahan, nyeri, bengkak
·         Monitor respon pasien
b.      Perencanaan
1)      Persiapan alat
·         Set steril (sarung tangan steril, kasa, pinset anatomis, 3 kom,doek berlubang, tuffer)
·         Bethadine
·         Alcohol 70%
·         NaCl 0,9%
·         Sarung tangan disposable
·         Spuit 5 cc
·         Kain perlak (alas)
·         Plester
·         Piala ginjal
·         Plastik
·         Fiksomol / tegaderm
·         Salep
2)      Persiapan klien
·         Menjaga privacy klien
·         Menjelaskan prosedur yang akan dilakukan
3)      Pelaksanaan
a.       Perawat mencuci tangan
b.      Memakai sarung tangan disposable
c.       Dekatkan alat yang digunakan
d.      Letakkan alas (perlak) di bawah kateter double lumen
e.       Lepaskan balutan kotor dari badan pasien dan masukkan balutan tersebut ke dalam plastik kotor.
f.       Lepaskan sarung tangan disposible
g.      Buka set steril
h.      Pakai sarung tangan steril
i.        Isilah masing – masing kom dengan betadin solution, alcohol 70 %. Jika di unit hemodialisa menggunakan bromderm spray (alkohol dan bethadine)
j.        Lakukan desinfektan pada area kulit di sekitar lokasi penusukan (exit site) dengan menggunakan alkohol 70% dan diulangi sampai kulit bebas dari kotoran. Kemudian berikan desinfektan dengan bethadine solution secara sirkuler dari arah dalam keluar.
k.      Sekitar exit site, betroban salep lalu ditutup dengan kasa steril.
l.        Berikan heparin pekat sesuai dengan anjuran yang tertera dalam selang pada kateter double lumen (unit hemodialisa).
m.    Kencangkan kateter double lumen dan tutup kateter double lumen dan klem dalam posisi terkunci (unit hemodialisa).
n.      Fiksasi kateter double lumen + elastic verban (femoral)
o.      Tutuplah seluruh kateter dengan kasa steril dan transparan dressing
p.      Bersihkan alat-alat yang sudah terpakai
q.      Cek kembali keadaan exit site dan kelancaran kateter
r.        Lepaskan sarung tangan steril
s.       Perawat mencuci tangan
( Fresenius Medical Care, Perawatan Catheter double lumen, 2008)
d.      Evaluasi
·         Kaji respon klien : keluhan nyeri, ekspresi wajah
·         Monitor TTV
·         Monitor tanda-tanda peradangan, infeksi atau iritasi pada area tusukkan
·         Monitor kondisi kateter : kelancaran, kondisi tertekuk, rembesan
e.       Dokumentasi
·         Catat kondisi balutan dan kateter sebelumnya waktu perawatan
·         keluhan rasa tidak nyaman klien
·         TTV sebelum dan sesudah prosedur.

Pendidikan Kesehatan Untuk Pasien
ž  Anjurkan klien untuk meminimalkan aktivitas seperti berjalan (femoralis)
ž  Meminimalkan jongkok terlalu lama (khusus femoralis)
ž  Balutan dipertahankan tetap kering dan bersih